Bagi saya keadilan menjadi hal yang langkah khususnya bagi kita rakyat kecil. Keadilan sepertinya hanya untuk orang-orang berduit saja. Terlebih menyangkut hukum.
Pasalnya, untung tak dapat diraih dan malang tak bisa ditolak. Niat hati mencari keadilan, tapi bisa-bisa malah menjadi pesakitan. Bagi yang belum pernah berurusan dengan aparat penegak hukum, tentu akan mengikuti arus mayoritas, karena sepanjang hayatnya senantiasa mendapat cerita serupa. Bahwa mencari keadilan di negeri ini tidak murah serta berisiko tinggi. Situasi tersebut, tentu muncul bukan tanpa sebab. Mahalnya ongkos mencari keadilan serta besarnya energi dan stamina yang dibutuhkan dipicu beberapa faktor. Salah satunya adalah berkeliarannya para markus alias cakil di berbagai sudut lembaga penegak hukum. Fatalnya, profesi markus dan cakil seringkali diperankan oknum aparat penegak hukum itu sendiri.
Apabila hal tersebut terjadi, maka putusan keadilan yang diucapkan, adalah keadilan semu dan keadilan yang tidak adil, karena didasarkan atas imbalan materi, dan tidak didasarkan atas keyakinan terhadap salah atau tidaknya seseorang. Martabat hakim akan jatuh di mata para pencari keadilan, baik karena para hakim mau menerima sesuatu malahan meminta sesuatu, ataupun karena tidak dapat mengendalikan diri dalam memimpin persidangan.
Tetapi yang perlu diingat, konsep keadilan menurut saya, bukan kesamarataan. Kesetaraan jender juga bukan berarti wanita duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Keadilan adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Begitu juga untuk rakyat Indonesia. Keadilan bukan berarti semua mendapatkan hal yang sama. Sesuai saja dengan tempatnya. Yang di desa dapat berbeda dengan yang di kota. Yang kaya dapat lebih baik kalau mau bayar lebih mahal. Yang miskin, ya dapat seadanya aja juga ga apa-apa, yang penting masih dapat.